Tuesday, March 18, 2008

jolma + kerja

Umur gw sekarang uda 22 tahun, bekerja sebagai jurnalis di media online. Jomblo. Hidup terpisah dari keluarga, merantau beberapa ribu kilometer dari rumah gw di Jakarta *err.. uda nyaris ke Depok sih^^*
Dulu banget, waktu gw masih pake putih merah, gw selalu wondering gimana rasanya SMP, trus wondering gimana SMA trus kuliah, trus kerja. And here I am, dengan status uda bekerja.

Time really flies.

Menjadi jurnalis itu impian gw dari SMU, sejak gw melepas seragam abu-abu. Alasannya simple, hanya karena pengalaman gw waktu ikut jurnalisme versi SMU, bikin gw berpikir bahwa jurnalisme itu asik dan menyenangkan. Impian gw jadi kenyataan ternyata.

Tapi, apa yang gw pikirkan selama ini salah besar! Kasarnya, kerja jurnalis itu beneran kuli. Berpanas-panas dan berhujan-hujan, jam kerja ga jelas, lusuh, sering ga dianggep ama orang lain, dianggep aneh ama orang lain, dipandang dengan tatapan kasihan ama orang lain, dan terakhir tapi nyelekit, gajinya kecil!

Ya, gw hanya mencoba bersikap realistis. Temen2 gw sering bilang jadi jurnalis itu keren, OK memang banyak banget pengalaman yang gw dapet. Pengalaman2 yang belum pernah gw alami selama 22 tahun terakhir ini. Tapi, gw juga punya keluarga, gw punya list kebutuhan, gw punya harapan dan ekspektasi buat masa depan gw.

Keluarga gw tentu mengharapkan gadis kecilnya hidup mapan dan nyaman. Mengharapkan anak gadis semata wayangnya bisa hidup bahagia seperti yang selalu diceritakan di sinetron. Menikah dengan suami kaya dan tampan, bekerja di gedung tinggi di kota metropolitan dan ruangan dengan AC dingin nan nyaman plus gaji yang berlimpah ruah.

Well, the fact is its opposite.

To make it clear, Im not trying to complain here. Gw hanya berusaha memaparkan kenyataan dan pemikiran gw. Trus, ketika gw berpikir tentang ini, gw ngeliat lagi orang2 di sekitar gw. Temen2 satu profesi memang ada yang komplain dengan pekerjaan kasar ini, apalagi dengan gaji yang minim. Tapi ga sedikit yang bener2 menjalani pekerjaan ini dan menikmatinya.

Gw juga melihat lebih luas lagi. Satu kali gw berbelanja di Hero Jalan Aceh *depan kantor Sindo^^* dan gw amati seorang wiraniaga Hero yang berbelanja dua buah mie instant 10 menit sebelum Hero itu tutup. Usil, muncul pertanyaan, apakah dia puas dengan kehidupannya? Puas dengan pekerjaannya? Ataukah lidahya masih sering berkeluh kesah karena hanya mampu berbelanja dua buah mie instant di tempatnya bekerja?

Gw ga pernah tau jawaban dari pertanyaan itu. Tapi pikiran gw masih terus berusaha menganalisa dan menjelajah dengan asumsi-asumsi gw sendiri. Semisal, dari raut wajahnya gw asumsikan bahwa dia ga puas dengan hidupnya dan masih berharap kalau dia dilahirkan dalam kondisi yang lebih baik. Yah, itu hanya asumsi dan analisa dari otak kecil gw doang. I'll never know.

Ga hanya di wiraniaga itu aja, banyak gw amati orang2 di sekitar gw. Entah dia sopir angkot, tukang jualan gorengan, tukang parkir, tukang bengkel, yang jaga kios pulsa di pinggir jalan dan banyak... lagi.

Pernah gw ikutan penelitian dosen tentang pasar kaget di Bandung yang mengharuskan gw wawancara sekitar 500 pedagang pasar di Bandung ini. Fiuh.. bukan cuma jumlahnya yang bikin gw ngos2an, tapi karakter 500 orang itu juga bikin gw berpeluh luar biasa.

Gimana ngga, aneka jawaban yang gw terima. Aneka curhatan pedagang yang gw dengerin. Sebagian besar diantara mereka mengeluh dengan kondisi mereka yang pedagang kecil, pendapatan pas2an dan ga tentu.

Tapi ya cuma sebatas itu, sebuah keluhan yang terlontar dari mulut. Waktu itu gw komplain dalam hati, 'Elo sendiri yang memilih hidup jadi pedagang, kenapa sekarang ngeluh2 ama gw?!' Komplain itu bukan tanpa alasan, karena toh masih ada jalan buat mereka untuk mengubah kondisi kalau mereka mo nyoba. Ga banget kalau hanya mengharapkan durian runtuh.

Yea, itulah opini gadis berusia 21 tahun dengan idealisme kecilnya.

Kenyataannya, itu ga semudah yang gw bayangkan. Dan ternyata gw juga ngalamin fase 'complaining' itu

Sekarang, gw sedang dalam penantian pekerjaan impian gw. Impian yang mulai terukir waktu nempuh kuliah ekonomi di kampus negeri di Bandung sejak 5 tahun lalu. Pekerjaan yang memungkinkan gw jadi bagian pemerintah, terlibat dalam kebijakan ekonomi negeri dan ga ketinggalan menjadikan gw sebagai bahan pembicaraan utama orang tua gw ketika bertemu dengan handai tolan.

Peneliti Ekonomi Muda

Impian anda?

1 comment:

hollaabmah said...

tulisannya bagus...
kayanya emang lebih cocok jadi jurnalis deh...